Lanjut ke konten

Philosopher

Man was thingking

Ilustrasi

Mungkin sudah tak asing lagi bagi telinga kita untuk mendengarkan sepenggal kata yaitu filsuf. Arah pikiran kita pasti akan langsung tertuju kepada sesosok manusia yang memiliki talenta pemikiran yang luar biasa. Tahukah Anda? bahwasannya filsuf yang berasal dari bahasa Yunani “philosophos” (Inggris : philosopher) itu tidak memiliki arti “pemikir” sama sekali, melainkan  pencinta kebijaksanaan, kenapa? karena hal ini tak lain berhubungan erat dengan kata “filsafat”, dalam bahasa Yunani berarti “philosophia” (Inggris : philosophy) yang artinya adalah cinta kebijaksanaan.

Konon kata “filsuf” ini pertama kali digunakan oleh Phytagoras (Abad ke-6 SM). Sayangnya bukti-bukti sejarah ini tidak dapat mengungkapkan faktanya secara lugas, karena Phytagoras sering kali mencampuri kata “filsuf” dengan beragam mitos (kepercayaan). Mitos itu sendiri dianggap orang Yunani tidak bijaksana dalam menjawab berbagai macam hal, yang salah satunya adalah jawaban atas kejadian-kejadian alam (kosmologis), seperti “hujan turun karena Dewa Zeus sedang menangis”, ini sangatlah mustahil. Oleh karena itu, bagi orang-orang Yunani  untuk menjawab berbagai permasalahan secara bijaksana haruslah menggunakan rasio (akal),  bukan dengan mitos. Jadi bagaimana mungkin seorang pecinta kebijaksanaan itu sering menjawab permasalahan dengan tidak bijaksana? disinilah titik yang dipermasalahkan.

Pastinya kata “filsuf” ini sudah lazim digunakan di kalangan Sokrates dan Plato (Abad ke-5 SM).  Kita dapat melihatnya di dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros : “Nama ‘orang bijaksana’ terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia karena itu lebih cocok untuk seorang Dewa. Lebih baik ia dipanggil philosophos, karena nama ini lebih layak untuk makhluk insani.”

Maksud dari penggalan fragmen di atas adalah kita sebagai manusia pasti memiliki keterbatasan dalam kebijaksanaan, sudah barang tentu kebijaksanaan manusia tidak  akan bisa dibandingkan dengan kebijaksanaan Dewa ataupun Tuhan. Jadi sudah sepantasnya kita sebagai manusia sadar bahwasannya kita hanya bisa menjadi pecinta sebuah kebijaksanaan (philosophos). Karena itu kita tidak akan pernah menemukan kebijaksanaan yang sejati di hidup ini, dan tak akan jadi masalah jika kebijaksanaan antara satu filsuf dengan filsuf yang lain dapat memiliki perbedaan yang sangat tajam.

Kasak-kusuk

Sangat disayangkan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang salah kaprah dengan ilmu pengetahuan yang satu ini, tak lain adalah Ilmu Filsafat. Kebanyakan mindset dari pemikiran mereka yaitu selalu mengaitkannya Ilmu Filsafat dengan permasalahan tentang “keberadaan Tuhan”. Sehingga mau tidak mau pastilah mereka mempunyai rasa khawatir  yang berlebihan untuk mempelajarinya.

Mayoritas argumentasi mereka adalah kekhawatiran diri mereka yang nantinya akan menjadi seorang “atheist” setelah mempelajari ilmu ini. Padahal ketika mempelajari Ilmu Filsafat, Anda tidak hanya disuguhkan dengan pemikiran-pemikiran anti-Tuhan, melainkan disuguhkan juga pemikiran-pemikiran pro-Tuhan yang mana argumentasinya pun tidak kalah kuat dari pemikiran anti-Tuhan.

Lagi pula, masalah “keberadaan Tuhan” hanya satu dari sejuta permasalahan yang  dibahas oleh Ilmu Filsafat. Jadi kenapa Anda harus takut untuk lebih jauh mengetahui ilmu ini. Ditambah lagi semua cabang ilmu pengetahuan, baik itu ilmu alam (fisika, kimia, biologi, geografi, astronomi, dll) dan ilmu manusia (psikologi, sosiologi, hukum, ekonomi,  politik, budaya, linguistik, dll) pastilah terkandung ilmu filsafat. Oleh karena itu, ilmu ini sering dijuluki sebagai “mother of science” dan tak khayal kalau anda pernah mendengar beberapa cabang filsafat, seperti filsafat matematika, filsafat biologi, filsafat hukum, filsafat linguistik, dll.

Masyarakat juga banyak yang beranggapan bahwasannya Ilmu Filsafat adalah ilmu yang sangat membosankan karena pemabahasannya yang alot dan bahasanya yang berputar-putar. Saya pun akan menjawab “iya, tapi tidak semuanya”, karena banyak juga bahasan filsafat yang  sangat menarik dan tidak membosankan, salah satu contohnya adalah eksistensialisme Martin Buber. Lalu kenapa saya tadi menjawab “iya”? karena masalah yang dibahas oleh Ilmu Filsafat sampai pada ke akar permasalahan, jadi mau tidak mau membuat otak kita bekerja sedikit ekstrim untuk benar-benar memahami permasalahan yang sedang dibahas.

Itulah salah satu latar belakang kenapa blog ini dibuat. Blog ini sengaja dibuat hanya untuk memperkenalkan kepada Anda beberapa permasalahan yang berada di dunia filsafat, dan saya pun terus berharap semoga beberapa tahun ke depan ilmu ini dapat berkembang di tengah masyarakat Indonesia, Amin.